Sebagai siswa kelas 2 SMA swasta terkenal yang ada di kota Bogor. Memiliki tampang yang rupawan dengan badan tinggi dan tegap, mungkin karena aku selalu berolahraga seminggu tiga kali. Teman-teman sekolah selalu bilang, kalau aku memiliki mobil pasti banyak cewek cantik dan sexy yang akan tertarik kepadaku. Aku sendiri sudah punya pacar. Kami pacaran secara serius. Baik orang tuaku maupun orang tuanya sudah setuju kami nanti menikah
.
Rumahku dan rumahnya-nya hanya berjarak sekitar 700 m. Aku sendiri sudah dipegangi kunci kamarnya. Walaupun demikian bukan berarti aku sudah berpacaran tanpa batas dengannya. Dalam masalah pacaran, kami sudah saling cium-ciuman, gumul-gumulan, dan remas-remasan payudara. Namun semua itu kami lakukan dengan masih berpakaian. Toh walaupun hanya begitu, kalau “voltase”-ku sudah amat tinggi, aku dapat “muntah” juga. Dia adalah seorang yang menjaga keperawanan sampai dengan menikah, karena itu dia tidak mau berhubungan sex sebelum menikah. Aku menghargai prinsipnya tersebut. Karena aku belum pernah pacaran sebelumnya, maka sampai saat itu aku belum pernah merasakan ML (hubungan sex) dengan perempuan.
Pacarku seorang anak bungsu. Kecuali kolokan, dia juga seorang penakut, sehingga sampai jam 10 malam minta ditemani. Sehabis mandi sore, aku pergi ke rumahnya. Sampai dia berangkat tidur. aku belajar atau menulis tugas akhir dan dia belajar atau mengerjakan tugas-tugas sekolahnya di ruang tamu. Kamar nya sendiri berukuran cukup besar, yakni 3mX6m. Kamar sebesar itu disekat dengan triplex menjadi ruang tamu dengan ukuran 3mX2.5m.
lbunya mempunyai empat anak, semua perempuan. Semua manis-manis sebagaimana kebanyakan perempuan Sunda. Anak yang pertama sudah menikah, anak yang kedua duduk di kelas I SMA, anak ketiga kelas 3 SMP, dan anak bungsu masih kelas 2 SMP. Menurut desas-desus yang sampai di telingaku, menikahnya anak pertama adalah karena hamil duluan. Kemudian anak yang kedua pun sudah mempunyai prestasi. Nama panggilannya Qanza. Dia dikabarkan sudah pernah hamil dengan pacarnya, namun digugurkan. Menurut penilaianku, Qanza seorang playgirl. Walaupun sudah punya pacar, pacarnya kuliah di suatu politeknik, namun dia suka mejeng dan menggoda laki-laki lain yang kelihatan keren. Kalau aku datang ke rumah pacarku, dia pun suka mejeng dan bersikap genit dalam menyapaku.
Qanza itu memang orang Sunda yang amat montok. Usianya akan 15 tahun. Tingginya 160 cm. Kulitnya berwarna kuning langsat dan kelihatan licin. Badannya kenyal dan berisi. Pinggangnya ramping. Buah dadanya padat dan besar membusung. Pinggulnya besar, kecuali melebar dengan indahnya juga pantatnya membusung dengan montoknya. Untuk gadis seusia dia, mungkin payudara dan pinggul yang sudah terbentuk sedemikian indahnya karena terbiasa dinaiki dan digumuli oleh pacarnya. Paha dan betisnya bagus dan mulus. Lehernya jenjang. Matanya bagus. Hidungnya mungil dan sedikit mancung. Bibirnya mempunyai garis yang sexy dan sensual, sehingga kalau memakai lipstik tidak perlu membuat garis baru, tinggal mengikuti batas bibir yang sudah ada. Rambutnya keriting sebahu.
Sore itu sehabis mandi aku ke rumah pacarku seperti biasanya. Di teras rumah tampak Qanza sedang mengobrol dengan dua orang adiknya. Qanza mengenakan baju atas “you can see” dan rok span yang pendek dan ketat sehingga lengan, paha dan betisnya yang mulus itu dipertontonkan dengan jelasnya.
“Bang Reza, ngapel ke Dina? Wah.. sedang nggak ada tuh. Tadi pergi sama dua temannya. Katanya mau bikin tugas,” sapa Qanza dengan centilnya.
“He.. Masa?” balasku.
“Iya.. Sudah, ngapelin Qanza sajalah Bang Reza,” kata Qanza dengan senyum menggoda. Gila! Cewek Sunda satu ini benar-benar menggoda hasrat. Kalau mau mengajak beneran aku tidak menolak nih, he-he-he..
“Ah, Qanza macam-macam saja..,” tanggapanku sok menjaga wibawa. “Bang Iyo belum datang?”
Pacar Qanza namanya Rio, namun Rio memanggilnya Bang Rio. Mungkin Iyo adalah panggilan akrab atau panggilan masa kecil si Iyo. Iyo berasal dari Bandung. Dia ngapeli anak yang masih SMA macam minum obat saja. Dan pulang kuliah sampai malam hari. Lebih hebat dan aku, dan selama ngapel waktu dia habiskan untuk ngobrol. Atau kalau setelah waktu isya, dia masuk ke kamar Qanza. Kapan dia punya kesempatan belajar?
“Wah.. dua bulan ini saya menjadi singgel lagi. Bang Iyo lagi kerja praktek di Riau. Makanya carikan teman Bang Reza buat menemani Qanza dong, biar Qanza tidak kesepian.. Tapi yang keren lho,” kata Qanza dengan suara yang amat manja. Gila si playgirl Sunda ini. Dia bukan tipe orang yang ngomong begitu bukan sekedar bercanda, namun tipe orang yang suka nyerempet-nyerempet hal yang berbahaya.
“Qanza ini.. Nanti Bang Iyo-nya ngamuk dong.”
“Bang Iyo kan tidak akan tahu..”
Aku kembali memaki dalam hati. Perempuan Sunda macam Qanza ini memang enak ditiduri. Enak digenjot dan dinikmati kekenyalan bagian-bagian tubuhnya.
Aku mengeluarkan kunci dan membuka pintu kamar Dina. Di atas meja pendek di ruang tamu ada sehelai memo dari Dina. Kubaca isi memo tadi. “Bang Reza, Aku ngerjain tugas kelompok bersama Niken dan Wiwin. Tugasnya banyak, jadi aku malam ini tidak pulang. Aku tidur di rumah Wiwin. Di kulkas ada jeruk, ambil saja. Salam sayang, Dina”
Aku mengambil bukuku yang sehari-harinya kutinggal di kamar. Sambil menyetel radio dengan suara perlahan, aku mulai membaca buku itu. Biarlah aku belajar di situ sampai jam sepuluh malam. Sedang asyik belajar, sekitar jam setengah sembilan malam pintu diketok dari luar. Tok-tok-tok.. Kusingkapkan korden jendela ruang tamu yang telah kututup pada jam delapan malam tadi, sesuai dengan kebiasaan pacarku. Sepertinya Qanza yang berdiri di depan pintu.
“Di.. Dina..,” terdengar suara Qanza memanggil-manggil dan luar. Aku membuka pintu.
“ Dina sudah pulang?” tanya Qanza.
“Belum. Hari ini Dina tidak pulang. Tidur di rumah temannya karena banyak tugas. Ada apa?”
“Mau pinjam kalkulator, Bang Reza. Sebentar saja. Buat bikin pe-er.”
“Ng.. bolehlah. Pakai kalkulatorku saja, asal cepat kembali.”
“Beres deh Bang Reza. Qanza berjanji,” kata Qanza dengan genit. Bibirnya tersenyum manis, dan pandang matanya menggoda menggemaskan.
Kuberikan kalkulatorku pada Qanza. Ketika berbalik, kutatap tajam-tajam tubuhnya yang motok. Pinggulnya yang melebar dan montok itu menggial ke kiri-kanan, seolah menantang diriku untuk meremas¬-remasnya. Sialan! Penisku jadi berdiri. Si “boy-ku” ini responsif sekali kalau ada cewek cakep yang enak digenjot.
Sepeninggal Qanza, sesaat aku tidak dapat berkonsentrasi. Namun kemudian kuusir pikiran yang tidak-tidak itu. Kuteruskan kembali membaca textbook yang menunjang penulisan tugas sarjana itu.
Tok-tok-tok! Baru sekitar limabelas menit pintu kembali diketok.
“Bang Reza... Bang Reza..,” terdengar Qanza memanggil lirih.
Pintu kubuka. Mendadak penisku mengeras lagi. Di depan pintu berdiri Qanza dengan senyum genitnya. Bajunya bukan atasan “you can see” yang dipakai sebelumnya. Dia menggunakan baju yang hanya setinggi separuh dada dengan ikatan tali ke pundaknya. Baju tersebut berwarna kuning muda dan berbahan mengkilat. Dadanya tampak membusung dengan gagahnya, yang ujungnya menonjol dengan tajam dan batik bajunya. Sepertinya dia tidak memakai BH. Juga, bau harum sekarang terpancar dan tubuhnya. Tadi, bau parfum harum semacam ini tidak tercium sama sekali, berarti datang yang kali ini si Qanza menyempatkan diri memakai parfum. Kali ini bibirnya pun dipolesi lipstik pink.
“Ini kalkulatornya, Bang Reza,” kata Qanza manja, membuyarkan keterpanaanku.
“Sudah selesai. Qanza?” tanyaku basa-basi.
“Sudah Bang Reza, namun boleh Qanza minta diajari Matematika?”
“0, boleh saja kalau sekiranya bisa.”
Tanpa kupersilakan Qanza menyelonong Banguk dan membuka buku matematika di atas meja tamu yang rendah.. Hanya digelari karpet tebal dan sebuah meja pendek dengan di salah satu sisinya terpasang rak buku. Aku pun duduk di hadapannya, sementara pintu masuk tertutup dengan sendirinya dengan perlahan.
“Ini Bang Reza, Qanza ada soal tentang bunga majemuk yang tidak tahu cara penyelesaiannya.” Qanza mencari-cari halaman buku yang akan ditanyakannya.
Menunggu halaman itu ditemukan, mataku mencari kesempatan melihat ke dadanya. Montok! Benar, Qanza tidak memakai bra. Dalam posisi agak menunduk, kedua gundukan payudaranya kelihatan sangat jelas. Sungguh padat, mulus, dan indah. Penisku terasa mengeras dan sedikit berdenyut-denyut. Halaman yang dicari ketemu. Qanza dengan centilnya membaca soal tersebut. Soalnya cukup mudah. Aku menerangkan sedikit dan memberitahu rumusnya, kemudian Qanza menghitungnya. Sambil menunggu Qanza menghitung, mataku mencuri pandang ke buah dada Qanza. Uhhh.. segarnya.
“Kok sepi? Mama, Ema, dan Nur sudah tidur?” tanyaku sambil menelan ludah. Kalau bapaknya tidak aku tanyakan karena dia bekerja di Cirebon yang pulangnya setiap akhir pekan.
“Sudah. Mama sudah tidur jam setengah delapan tadi. Kemudian Erna dan Nur berangkat tidur waktu Qanza bermain-main kalkulator tadi,” jawab Qanza dengan tatapan mata yang menggoda.
Hasratku mulai naik. Kenapa tidak kusetubuhi saja si Qanza. Mumpung sepi. Orang-orang di rumahnya sudah tidur. Rumah sebelah sudah sepi dan sudah mati lampunya. Berarti penghuninya juga sudah tidur. Kalau kupaksa dia meladeni hasratku, tenaganya tidak akan berarti dalam melawanku. Tetapi mengapa dia akan melawanku? jangan-jangan dia ke sini justru ingin bersetubuh denganku. Soal tanya Matematika, itu hanya sebagai atasan saja. Bukankah dia menyempatkan ganti baju, dari atasan you can see ke atasan yang memamerkan separuh payudaranya? Bukankah dia datang lagi dengan menyempatkan tidak memakai bra? Bukankah dia datang lagi dengan menyempatkan memakai parfum dan lipstik? Apa lagi artinya kalau tidak menyodorkan din?
Tiba-tiba Qanza bangkit dan duduk di sebelah kananku. “Bang Reza.. ini benar nggak?” tanya Qanza.
Ada kekeliruan di tengah jalan saat Qanza menghitung. Antara konsentrasi dan menahan nafsu yang tengah berkecamuk, aku mengambil pensil dan menjelaskan kekeliruannya. Tiba-tiba Qanza lebih mendekat ke arahku, seolah mau memperhaikan hal yang kujelaskan dan jarak yang lebih dekat. Akibatnya.. gumpalan daging yang membusung di dadanya itu menekan lengan tangan kananku. Terasa hangat dan lunak, namun ketika dia lebih menekanku terasa lebih kenyal.
Dengan sengaja lenganku kutekankan ke payudaranya.
“Ih.. Bang Reza nakal deh tangannya,” katanya sambil merengut manja. Dia pura-pura menjauh.
“Lho, yang salah kan Qanza duluan. Buah dadanya menyodok-nyodok lenganku,” jawabku.
Qanza cemberut. Dia mengambil buku dan kembali duduk di hadapanku. Dia terlihat kembali membetulkan yang kesalahan, namun menurut perasaanku itu hanya berpura-pura saja. Aku merasa semakin ditantang. Kenapa aku tidak berani? Memangnya aku impoten? Dia sudah berani datang ke sini malam-malam sendirian. Dia menyempatkan pakai parfum. Dia sengaja memakai baju atasan yang memamerkan gundukan payudara. Dia sengaja tidak pakai bra. Artinya, dia sudah mempersilakan diriku untuk menikmati kemolekan tubuhnya. Tinggal aku yang jadi penentunya, mau menyia-siakan kesempatan yang dia berikan atau memanfaatkannya. Kalau aku menyia-siakan berarti aku band!
Aku pun bangkit. Aku berdiri di atas lutut dan mendekatinya dari belakang. Aku pura-pura mengawasi dia dalam mengerjakan soal. Padahal mataku mengawasi tubuhnya dari belakang. Kulit punggung dan lengannya benar-benar mulus, tanpa goresan sedikitpun. Karena padat tubuhnya, kulit yang kuning langsat itu tampak licin mengkilap walaupun ditumbuhi oleh bulu-bulu rambut yang halus.
Kemudian aku menempelkan penisku yang menegang ke punggungnya. Qanza sedikit terkejut ketika merasa ada yang menempel punggungnya.
“Ih.. Bang Reza jangan begitu dong..,” kata Qanza manja.
“Sudah.. udah-udah.. Aku sekedar mengawasi pekerjaan Qanza,” jawabku.
Qanza cemberut. Namun dengan cemberut begitu, bibir yang sensual itu malah tampak menggemaskan. Sungguh sedap sekali bila dikulum-kulum dan dilumat-lumat. Qanza berpura-pura meneruskan pekerjaannya. Aku semakin berani. Penisku kutekankan ke punggungnya yang kenyal. Qanza menggelinjang. Tidak tahan lagi. Tubuh Qanza kurengkuh dan kurebahkan di atas karpet. Bibirnya kulumat-lumat, sementara kulit punggungnya kuremas-remas. Bibir Qanza mengadakan perlawanan, mengimbangi kuluman-¬kuluman bibirku yang diselingi dengan permainan lidahnya. Terlihat bahkan dalam Bangalah ciuman Qanza yang Bangih kelas satu SMA sudah sangat mahir. Bahkan mengalahkan kemahiranku.
Beberapa saat kemudian ciumanku berpindah ke lehernya yang jenjang. Bau harum terpancar dan kulitnya. Sambil kusedot-sedot kulit lehernya dengan hidungku, tanganku berpindah ke buah dadanya. Buah dada yang tidak dilindungi bra itu terasa kenyal dalam remasan tanganku. Kadang-kadang dan batik kain licin baju atasannya, putingnya kutekan-tekan dan kupelintir-pelintir dengan jari-jari tanganku. Puting itu terasa mengeras.
“Bang Reza, Bang Reza buka baju saja Bang Reza..,” rintih Qanza. Tanpa menunggu persetujuanku, jari-jari tangannya membuka ikat pinggang dan ritsleteng celanaku. Aku mengimbangi, tali baju atasannya kulepas dan baju tersebut kubebaskan dari tubuhnya. Aku terpana melihat kemulusan tubuh atasnya tanpa penutup sehelai kain pun. Buah dadanya yang padat membusung dengan indahnya. Ditimpa sinar lampu neon ruang tamu, payudaranya kelihatan amat mulus dan licin. Putingnya berdiri tegak di ujung gumpalan payudara. Putingnya berwarna pink kecoklat-coklatan, sementara puncak bukit payudara di sekitarnya berwarna coklat tua dan sedikit menggembung dibanding dengan permukaan kulit payudaranya.
Celana panjang yang sudah dibuka oleh Qanza kulepas dengan segera. Menyusul. kemeja dan kaos singlet kulepas dari tubuhku. Kini aku cuma tertutup oleh celana dalamku, sementara Qanza tertutup oleh rok span ketat yang mempertontonkan bentuk pinggangnya yang ramping dan bentuk pinggulnya yang melebar dengan bagusnya. Qanza pun melepaskan rok spannya itu, sehingga pinggul yang indah itu kini hanya terbungkus celana dalam minim yang tipis dan berwarna pink. Di daerah bawah perutnya, celana dalam itu tidak mampu menyembunyikan warna hitam dari jembut lebat Qanza yang terbungkus di dalamnya. Juga, beberapa helai jembut Qanza tampak keluar dari lobang celana dalamnya.
Qanza memandangi dadaku yang bidang. Kemudian dia memandang ke arah penisku yang besar dan panjang, yang menonjol dari balik celana dalamku. Pandangan matanya memancarkan nafsu yang sudah menggelegak. Perlahan aku mendekatkan badanku ke badannya yang sudah terbaring pasrah. Kupeluk tubuhnya sambil mengulum kembali bibirnya yang hangat. Qanza pun mengimbanginya. Dia memeluk leherku sambil membalas kuluman di bibirnya. Payudaranya pun menekan dadaku. Payudara itu terasa kenyal dan lembut. Putingnya yang mengeras terasa benar menekan dadaku. Aku dan Qanza saling mengulum bibir, saling menekankan dada, dan saling meremas kulit punggung dengan penuh nafsu.
Ciumanku berpindah ke leher Qanza. Leher mulus yang memancarkan keharuman parfum yang segar itu kugumuli dengan bibir dan hidungku. Qanza mendongakkan dagunya agar aku dapat menciumi segenap pori-pori kulit lehernya.
“Ahhh.. Bang Reza.. Qanza sudah menginginkannya dan kemarin.. Gelutilah tubuh Qanza.. puasin Qanza ya Bang Reza..,” bisik Qanza terpatah-patah.
Aku menyambutnya dengan penuh antusias. Kini wajahku bergerak ke arah payudaranya. Payudaranya begitu menggembung dan padat. namun berkulit lembut. Bau keharuman yang segar terpancar dan pori-porinya. Agaknya Qanza tadi sengaja memakai parfum di sekujur payudaranya sebelum datang ke sini. Aku menghirup kuat-kuat lembah di antara kedua bukit payudaranya itu. Kemudian wajahku kugesek-gesekkan di kedua bukit payudara itu secara bergantian, sambil hidungku terus menghirup keharuman yang terpancar dan kulit payudara. Puncak bukit payudara kanannya pun kulahap dalam mulutku. Kusedot kuat-kuat payudara itu sehingga daging yang masuk ke dalam mulutku menjadi sebesar-besarnya. Qanza menggelinjang.
“Bang Reza.. ngilu.. ngilu..,” rintih Qanza.
Gelinjang dan rintihan Qanza itu semakin membangkitkan hasratku. Kuremas bukit payudara sebelah kirinya dengan gemasnya, sementara puting payudara kanannya kumainkan dengan ujung lidahku. Puting itu kadang kugencet dengan tekanan ujung lidah dengan gigi. Kemudian secara mendadak kusedot kembali payudara kanan itu kuat-kuat. sementara jari tanganku menekan dan memelintir puting payudara kirinya. Qanza semakin menggelinjang-gelinjang seperti ikan belut yang memburu makanan sambil mulutnya mendesah-desah.
“Aduh Bang Reza.. ssshh.. ssshhh.. ngilu Bang Reza.. ssshhh.. geli.. geli..,” cuma kata-kata itu yang berulang-ulang keluar dan mulutnya yang merangsang.
Aku tidak puas dengan hanya menggeluti payudara kanannya. Kini mulutku berganti menggeluti payudara kiri. sementara tanganku meremas-remas payudara kanannya kuat-kuat. Kalau payudara kirinya kusedot kuat-kuat. tanganku memijit-mijit dan memelintir-pelintir puting payudara kanannya. Sedang bila gigi dan ujung lidahku menekan-nekan puting payudara kiri, tanganku meremas sebesar-besarnya payudara kanannya dengan sekuat-kuatnya.
“Bang Reza.. kamu nakal… ssshhh.. ssshhh.. ngilu Bang Reza.. geli..”Qanza tidak henti-hentinya menggelinjang dan mendesah manja.
Setelah puas dengan payudara, aku meneruskan permainan lidah ke arah perut Qanza yang rata dan berkulit amat mulus itu. Mulutku berhenti di daerah pusarnya. Aku pun berkonsentrasi mengecupi bagian pusarnya. Sementara kedua telapak tanganku menyusup ke belakang dan meremas-remas pantatnya yang melebar dan menggembung padat. Kedua tanganku menyelip ke dalam celana yang melindungi pantatnya itu. Perlahan¬-lahan celana dalamnya kupelorotkan ke bawah. Qanza sedikit mengangkat pantatnya untuk memberi kemudahan celana dalamnya lepas. Dan dengan sekali sentakan kakinya, celana dalamnya sudah terlempar ke bawah.
Saat berikutnya, terhamparlah pemandangan yang luar biasa merangsangnya. Jembut Qanza sungguh lebat dan subur sekali. Jembut itu mengitari bibir memiaw yang berwarna coklat tua. Sambil kembali menciumi kulit perut di sekitar pusarnya, tanganku mengelus-elus pahanya yang berkulit licin dan mulus. Elusanku pun ke arah dalam dan merangkak naik. Sampailah jari-jari tanganku di tepi kiri-kanan bibir luar memiawnya. Tanganku pun mengelus-elus memiawnya dengan dua jariku bergerak dan bawah ke atas. Dengan mata terpejam, Qanza berinisiatif meremas-remas payudaranya sendiri. Tampak jelas kalau Qanza sangat menikmati permainan ini.
Perlahan kusibak bibir memiaw Qanza dengan ibu jari dan telunjukku mengarah ke atas sampai kelentitnya menongol keluar. Wajahku bergerak ke memiawnya, sementara tanganku kembali memegangi payudaranya. Kujilati kelentit Qanza perlahan-lahan dengan jilatan-jilatan pendek dan terputus-putus sambil satu tanganku mempermainkan puting payudaranya.
“Au Bang Reza.. shhhhh.. betul.. betul di situ Bang Reza.. di situ.. enak Bang.. shhhh..,” Qanza mendesah-desah sambil matanya merem-melek. Bulu alisnya yang tebal dan indah bergerak ke atas-bawah mengimbangi gerakan merem-meleknya mata. Keningnya pun berkerut pertanda dia sedang mengalami kenikmatan yang semakin meninggi.
Aku meneruskan permainan lidah dengan melakukan jilatan-jilatan panjang dan lubang anus sampai ke kelentitnya. Karena gerakan ujung hidungku pun secara berkala menyentuh memiaw Qanza. Terasa benar bahkan dinding vaginanya mulai basah. Bahkan sebagian cairan vaginanya mulai mengalir hingga mencapai lubang anusnya. Sesekali pinggulnya bergetar. Di saat bergetar itu pinggulnya yang padat dan amat mulus kuat-kuat sambil ujung hidungku kutusukkan ke lobang memiawnya.
“Bang Reza.. enak sekali Bang Reza..,” Qanza mengerang dengan kerasnya. Aku segera memfokuskan jilatan-jilatan lidah serta tusukan-tusukan ujung hidung di vaginanya. Semakin lama vagina itu semakin basah saja. Dua jari tanganku lalu kumasukkan ke lobang memiawnya. Setelah masuk hampir semuanya, jari kubengkokkan ke arah atas dengan tekanan yang cukup terasa agar kena “G-spot”-nya. Dan berhasil!
“Auwww.. Bang Reza..!” jerit Qanza sambil menyentakkan pantat ke atas. sampai-sampai jari tangan yang sudah terbenam di dalam memiaw terlepas. Perut bawahnya yang ditumbuhi bulu-bulu jembut hitam yang lebat itu pun menghantam ke wajahku. Bau harum dan bau khas cairan vaginanya merasuk ke sel-sel syaraf penciumanku.
Aku segera memasukkan kembali dua jariku ke dalam vagina Qanza dan melakukan gerakan yang sama. Kali ini aku mengimbangi gerakan jariku dengan permainan lidah di kelentit Qanza. Kelentit itu tampak semakin menonjol sehingga gampang bagiku untuk menjilat dan mengisapnya. Qanza kelentit itu aku gelitiki dengan lidah serta kuisap-isap perlahan, Qanza semakin keras merintih-rintih bagaikan orang yang sedang mengalami sakit demam. Sementara pinggulnya yang amat aduhai itu menggial ke kiri-kanan dengan sangat merangsangnya.
“Bang Reza.. Bang Reza.. Bang Reza..,” hanya kata-kata itu yang dapat diucapkan Qanza karena menahan kenikmatan yang semakin menjadi-jadi.
Permainan jari-jariku dan lidahku di memiawnya semakin bertambah ganas. Qanza sambil mengerang¬-erang dan menggeliat-geliat meremas apa saja yang dapat dia raih. Meremas rambut kepalaku, meremas bahuku, dan meremas payudaranya sendiri.
“Bang Reza.. Qanza sudah tidak tahan lagi.. masukin penis saja Bang Reza.. Ohhh.. sekarang juga Bang Reza..! Sshhh. . . ,” erangnya sambil menahan nafsu yang sudah menguasai segenap tubuhnya.
Namun aku tidak perduli. Kusengaja untuk mempermainkan Qanza terlebih dahulu. Aku mau membuatnya orgasme, sementara aku masih segar bugar. Karena itu lidah dan wajahku kujauhkan dan memiawnya. Kemudian kocokan dua jari tanganku di dalam memiawnya semakin kupercepat. Gerakan jari tanganku yang di dalam memiawnya ke atas-bawah, sampai terasa ujung jariku menghentak-hentak dinding atasnya secara perlahan-lahan. Sementara ibu jariku mengusap-usap dan menghentak-hentak kelentitnya. Gerakan jari tanganku di memiawnya yang basah itu sampai menimbulkan suara crrk-crrrk-crrrk-crrk crrrk.. Sementara dan mulut Qanza keluar pekikan-pekikan kecil yang terputus-putus:
“Ah-ah-ah-ah-ah..”
Sementara aku semakin memperdahsyat kocokan jari-jariku di memiawnya, sambil memandangi wajahnya. Mata Qanza merem-melek, sementara keningnya berkerut-kerut. Crrrk! Crrrk! Crrek! Crek! Crek! Crok! Crok! Suara yang keluar dan kocokan jariku di memiawnya semakin terdengar keras. Aku mempertahankan kocokan tersebut. Dua menit sudah si Qanza mampu bertahan sambil mengeluarkan jeritan-jeritan yang membangkitkan nafsu. Payudaranya tampak semakin kencang dan licin, sedang putingnya tampak berdiri dengan tegangnya.
Sampai akhirnya tubuh Qanza mengejang hebat. Pantatnya terangkat tinggi-tinggi. Matanya membeliak-¬beliak. Dan bibirnya yang sensual itu keluar jeritan hebat, “Bang Rezaaaaaaaa..!” Dua jariku yang tertanam di dalam vagina Qanza terasa dijepit oleh dindingnya dengan kuatnya. Seiring dengan keluar masuknya jariku dalam vaginanya, dan sela-sela celah antara tanganku dengan bibir memiawnya terpancarlah semprotan cairan vaginanya dengan kuatnya. Prut! Prut! Pruttt! Semprotan cairan tersebut sampai mencapai pergelangan tanganku.
Beberapa detik kemudian Qanza terbaring lemas di atas karpet. Matanya memejam rapat. Tampaknya dia baru saja mengalami orgasme yang begitu hebat. Kocokan jari tanganku di vaginanya pun kuhentikan. Kubiarkan jari tertanam dalam vaginanya sampai jepitan dinding vaginanya terasa lemah. Setelah lemah. jari tangan kucabut dan memiawnya. Cairan vagina yang terkumpul di telapak tanganku pun kubersihkan dengan kertas tissue.
Ketegangan penislku belum juga mau berkurang. Apalagi tubuh telanjang Qanza yang terbaring diam di hadapanku itu benar-benar aduhai. seolah menantang diriku untuk membuktikan kejantananku pada tubuh mulusnya. Aku pun mulai menindih kembali tubuh Qanza, sehingga penisku yang masih di dalam celana dalam tergencet oleh perut bawahku dan perut bawahnya dengan enaknya. Sementara bibirku mengulum-kulum kembali bibir hangat Qanza, sambil tanganku meremas-remas payudara dan mempermainkan putingnya. Qanza kembali membuka mata dan mengimbangi serangan bibirku. Tubuhnya kembali menggelinjang-gelinjang karena menahan rasa geli dan ngilu di payudaranya.
Setelah puas melumat-lumat bibir. wajahku pun menyusuri leher Qanza yang mulus dan harum hingga akhirnya mencapai belahan dadanya. Wajahku kemudian menggeluti belahan payudaranya yang berkulit lembut dan halus, sementara kedua tanganku meremas-remas kedua belah payudaranya. Segala kelembutan dan keharuman belahan dada itu kukecupi dengan bibirku. Segala keharuman yang terpancar dan belahan payudara itu kuhirup kuat-kuat dengan hidungku, seolah tidak rela apabila ada keharuman yang terlewatkan sedikitpun.
Kugesek-gesekkan memutar wajahku di belahan payudara itu. Kemudian bibirku bergerak ke atas bukit payudara sebelah kiri. Kuciumi bukit payudara yang membusung dengan gagahnya itu. Dan kuBangukkan puting payudara di atasnya ke dalam mulutku. Kini aku menyedot-sedot puting payudara kiri Qanza. Kumainkan puting di dalam mulutku itu dengan lidahku. Sedotan kadang kuperbesar ke puncak bukit payudara di sekitar puting yang berwarna coklat.
“Ah.. ah.. Bang Reza.. geli.. geli ..,” mulut indah Qanza mendesis-desis sambil menggeliatkan tubuh ke kiri-kanan. Bagaikan desisan ular kelaparan yang sedang mencari mangsa.
Aku memperkuat sedotanku. Sementara tanganku meremas-remas payudara kanan Qanza yang montok dan kenyal itu. Kadang remasan kuperkuat dan kuperkecil menuju puncak bukitnya, dan kuakhiri dengan tekanan-tekanan kecil jari telunjuk dan ibu jariku pada putingnya.
“Bang Reza.. hhh.. geli.. geli.. enak.. enak.. ngilu.. ngilu..”
Aku semakin gemas. Payudara aduhai Qanza itu kumainkan secara bergantian, antara sebelah kiri dan sebelah kanan. Bukit payudara kadang kusedot besarnya-besarnya dengan tenaga isap sekuat-kuatnya, kadang yang kusedot hanya putingnya dan kucepit dengan gigi atas dan lidah. Belahan lain kadang kuremas dengan daerah tangkap sebesar-besarnya dengan remasan sekuat-kuatnya, kadang hanya kupijit-pijit dan kupelintir-pelintir kecil puting yang mencuat gagah di puncaknya.
“Ah.. Bang Reza.. terus Bang Reza.. terus.. hzzz.. ngilu.. ngilu..” Qanza mendesis-desis keenakan. Hasratnya tampak sudah kembali tinggi. Matanya kadang terbeliak-beliak. Geliatan tubuhnya ke kanan-kini semakin sening fnekuensinya.
Sampai akhirnya Qanza tidak kuat mehayani senangan-senangan keduaku. Dia dengan gerakan cepat memelorotkan celana dalamku hingga turun ke paha. Aku memaklumi maksudnya, segera kulepas celana dalamku. Jari-jari tangan kanan Qanza yang mulus dan lembut kemudian menangkap penisku yang sudah berdiri dengan gagahnya. Sejenak dia memperlihatkan rasa terkejut.
“Gila.. Bang Reza, Gila.. Penismu besar sekali.. Penis pacar-pacarku dahulu dan juga penis bang Iyo tidak sampai sebesar ini Gila… gila… ucapnya terkagum-kagum. Sambil membiankan mulut, wajah, dan tanganku terus memainkan dan menggeluti kedua belah payudaranya, jan-jari lentik tangan kanannya meremas¬ remas perlahan penisku secara berirama, seolah berusaha mencari kehangatan dan kenikmatan di hatinya menahan kejantananku. Remasannya itu memperhebat vothase dan rasa nikmat pada batang penisku.
“Bang Reza, kita main di atas kasur saja..,” ajak Qanza dengan sinar mata yang sudah dikuasai nafsu birahi.
Aku pun membopong tubuh telanjang Qanza ke ruang dalam, dan membaringkannya di atas tempat tidur . Ranjang ini amat pendek, dasar kasurnya hanya terangkat sekitar 6 centimeter dari lantai. Ketika kubopong. Qanza tidak mau melepaskan tangannya dari leherku. Bahkan, begitu tubuhnya menyentuh kasur, tangannya menarik wajahku mendekat ke wajahnya. Tak ayal lagi, bibirnya yang pink menekan itu melumat bibirku dengan ganasnya. Aku pun tidak mau mengalah. Kulumat bibirnya dengan penuh nafsu yang menggelora, sementara tanganku mendekap tubuhnya dengan kuatnya. Kupeluk punggungnya yang halus mulus kuremas-remas dengan gemasnya
Kemudian aku menindih tubuh Qanza. Penisku terjepit di antara pangkal pahanya yang mulus dan perut bawahku sendiri. Kehangatan kulit pahanya mengalir ke batang penisku yang tegang dan keras. Bibirku kemudian melepaskan bibir sensual Qanza. Kecupan bibirku pun turun. Kukecup dagu Qanza yang bagus. Kukecup leher jenjang Qanza yang memancarkan bau wangi dan segarnya parfum yang dia pakai. Kuciumi dan kugeluti leher indah itu dengan wajahku, sementara pantatku mulai bergerak aktif sehingga penisku menekan dan menggesek-gesek paha Qanza. Gesekan di kulit paha yang licin itu membuat batang penisku bagai diplirit-plirit. Kepala penisku merasa geli-geli enak oleh gesekan-gesekan paha Qanza.
Puas menggeluti leher indah, wajahku pun turun ke buah dada montok Qanza. Dengan gemas dan ganasnya aku membenamkan wajahku ke belahan dadanya, sementara kedua tanganku meraup kedua belah payudaranya dan menekannya ke arah wajahku. Keharuman payudaranya kuhirup sepuas-puasku. Belum puas dengan menyungsep ke belahan dadanya, wajahku kini menggesek-gesek memutar sehingga kedua gunung payudaranya tertekan-tekan oleh wajahku secara bergantian. Sungguh sedap sekali rasanya ketika hidungku menyentuh dan menghirup dalam-dalam daging payudara yang besar dan kenyal itu. Kemudian bibirku meraup puncak bukit payudara kiri Qanza. Daerah payudara yang kecoklat-coklatan beserta putingnya yang pink kecoklat-coklatan itu pun masuk dalam mulutku. Kulahap ujung payudara dan putingnya itu dengan bernafsunya, tak ubahnya seperti bayi yang menetek susu setelah kelaparan selama seharian. Di dalam mulutku, puting itu kukulum-kulum dan kumainkan dengan lidahku.
“Bang Reza.. geli.. geli ..,” kata Qanza kegelian.
Aku tidak perduli. Aku terus mengulum-kulum puncak bukit payudara Qanza. Putingnya terasa di lidahku menjadi keras. Kemudian aku kembali melahap puncak bukit payudara itu sebesar-besarnya. Apa yang masuk dalam mulutku kusedot sekuat-kuatnya. Sementara payudara sebelah kanannya kuremas sekuat-kuatnya dengan tanganku. Hal tersebut kulakukan secara bergantian antara payudara kiri dan payudara kanan Qanza. Sementara penisku semakin menekan dan menggesek-gesek dengan beriramanya di kulit pahanya. Qanza semakin menggelinjang-gelinjang dengan hebatnya.
“Bang Reza.. Bang Reza.. ngilu.. ngilu.. hihhh.. nakal sekali tangan dan mulutmu.. Auw! Sssh.. ngilu.. ngilu..,” rintih Qanza. Rintihannya itu justru semakin mengipasi api nafsuku. Api nafsuku semakin berkobar-kobar. Semakin ganas aku mengisap-isap dan meremas-remas payudara montoknya. Sementara penisku berdenyut-denyut keenakan merasakan hangat dan licinnya paha Qanza.
Akhirnya aku tidak sabar lagi. Kulepaskan payudara montok Qanza dari gelutan mulut dan tanganku. Bibirku kini berpindah menciumi dagu dan lehernya, sementara tanganku membimbing penisku untuk mencari liang memiawnya. Kuputar-putarkan dahulu kepala penisku di kelebatan jembut di sekitar bibir memiaw Qanza. Bulu-bulu jembut itu bagaikan menggelitiki kepala penisku. Kepala penisku pun kegelian. Geli tetapi enak.
“Bang Reza.. masukkan seluruhnya Bang Reza.. masukkan seluruhnya.. Bang Reza belum pernah merasakan memiaw Dina kan? Dina orang kuno.. tidak mau merasakan penis sebelum nikah. Padahal itu surga dunia.. bagai terhempas langit ke langit ketujuh. Bang Reza..”
Jari-jari tangan Qanza yang lentik meraih batang penisku yang sudah amat tegang. Pahanya yang mulus itu dia buka agak lebar.
“Gila… Gila… penismu besar dan keras sekali, Bang Reza..,” katanya sambil mengarahkan kepala penisku ke lobang memiawnya.
Sesaat kemudian kepala penisku menyentuh bibir memiawnya yang sudah basah. Kemudian dengan perlahan-lahan dan sambil kugetarkan, penis kutekankan masuk ke liang memiaw. Kini seluruh kepala penisku pun terbenam di dalam memiaw. Daging hangat berlendir kini terasa mengulum kepala penisku dengan enaknya.
Aku menghentikan gerak masuk penisku.
“Bang Reza.. teruskan masuk, Reza.. Sssh.. enak.. jangan berhenti sampai situ saja..,” Qanza protes atas tindakanku. Namun aku tidak perduli. Kubiarkan penisku hanya masuk ke lobang memiawnya hanya sebatas kepalanya saja, namun penisku kugetarkan dengan amplituda kecil. Sementara bibir dan hidungku dengan ganasnya menggeluti lehernya yang jenjang, lengan tangannya yang harum dan mulus, dari ketiaknya yang bersih dari bulu ketiak. Qanza menggelinjang-gelinjang dengan tidak karuan.
“Sssh.. sssh.. enak.. enak.. geli.. geli, Bang Reza. Geli.. Terus masuk, Bang Reza..”
Bibirku mengulum kulit lengan tangannya dengan kuat-kuat. Sementara gerakan kukonsentrasikan pada pinggulku. Dan.. satu.. dua.. tiga! Penisku kutusukkan sedalam-dalamnya ke dalam memiaw Qanza dengan sangat cepat dan kuatnya. Plak! Pangkal pahaku beradu dengan pangkal pahanya yang mulus yang sedang dalam posisi agak membuka dengan kerasnya. Sementara kulit batang penisku bagaikan diplirit oleh bibir dan daging lobang memiawnya yang sudah basah dengan kuatnya sampai menimbulkan bunyi: srrrt!
“Auwww!” pekik Qanza.
Aku diam sesaat, membiarkan penisku tertanam seluruhnya di dalam memiaw Qanza tanpa bergerak sedikit pun. “Sakit Bang Reza.. Nakal sekali kamu.. nakal sekali kamu…” kata Qanza sambil tangannya meremas punggungku dengan kerasnya.
Aku pun mulai menggerakkan penisku keluar-masuk memiaw Qanza. Aku tidak tahu, apakah penisku yang berukuran panjang dan besar ataukah lubang memiaw Qanza yang berukuran kecil. Yang saya tahu, seluruh bagian penisku yang masuk memiawnya serasa dipijit-pijit dinding lobang memiawnya dengan agak kuatnya. Pijitan dinding memiaw itu memberi rasa hangat dan nikmat pada batang penisku.
“Bagaimana Qanza, sakit?” tanyaku
“Sssh.. enak sekali.. enak sekali.. Barangmu besar dan panjang sekali.. sampai-sampai menyumpal penuh seluruh penjuru lobang memiawku..,” jawab Qanza.
Aku terus memompa memiaw Qanza dengan penisku perlahan-lahan. Payudara kenyalnya yang menempel di dadaku ikut terpilin-pilin oleh dadaku akibat gerakan memompa tadi. Kedua putingnya yang sudah mengeras seakan-akan mengkilik-kilik dadaku yang bidang. Kehangatan payudaranya yang montok itu mulai terasa mengalir ke dadaku. Penisku serasa diremas-remas dengan berirama oleh otot-otot memiawnya sejalan dengan genjotanku tersebut. Terasa hangat dan enak sekali. Sementara setiap kali menusuk masuk kepala penisku menyentuh suatu daging hangat di dalam memiaw Qanza. Sentuhan tersebut serasa menggelitiki kepala penis sehingga aku merasa sedikit kegelian. Geli-geli nikmat.
Kemudian aku mengambil kedua kakinya yang kuning langsat mulus dan mengangkatnya. Sambil menjaga agar penisku tidak tercabut dari lobang memiawnya, aku mengambil posisi agak jongkok. Betis kanan Qanza kutumpangkan di atas bahuku, sementara betis kirinya kudekatkan ke wajahku. Sambil terus mengocok memiawnya perlahan dengan penisku, betis kirinya yang amat indah itu kuciumi dan kukecupi dengan gemasnya. Setelah puas dengan betis kiri, ganti betis kanannya yang kuciumi dan kugeluti, sementara betis kirinya kutumpangkan ke atas bahuku. Begitu hal tersebut kulakukan beberapa kali secara bergantian, sambil mempertahankan rasa nikmat di penisku dengan mempertahankan gerakan maju-mundur perlahannya di memiaw Qanza.
Setelah puas dengan cara tersebut, aku meletakkan kedua betisnya di bahuku, sementara kedua telapak tanganku meraup kedua belah payudaranya. masih dengan kocokan penis perlahan di memiawnya, tanganku meremas-remas payudara montok Qanza. Kedua gumpalan daging kenyal itu kuremas kuat-kuat secara berirama. Kadang kedua putingnya kugencet dan kupelintir-pelintir secara perlahan. Puting itu semakin mengeras, dan bukit payudara itu semakin terasa kenyal di telapak tanganku. Qanza pun merintih-rintih keenakan. Matanya merem-melek, dan alisnya mengimbanginya dengan sedikit gerakan tarikan ke atas dan ke bawah.
“Ah.. Bang Reza, geli.. geli.. Tobat.. tobat.. Ngilu Bang Reza, ngilu.. Sssh.. sssh.. terus Bang Reza, terus.. Gila..gila.... penismu membuat memiawku merasa enak sekali… Nanti jangan disemprotkan di luar memiaw, Bang Reza. Nyemprot di dalam saja.. aku sedang tidak subur…”
Aku mulai mempercepat gerakan masuk-keluar penisku di memiaw Qanza.
“Ah-ah-ah.. benar, Bang Reza. benar.. yang cepat.. Terus Bang Reza, terus..”
Aku bagaikan diberi spirit oleh rintihan-rintihan Qanza. tenagaku menjadi berlipat ganda. Kutingkatkan kecepatan keluar-masuk penisku di memiaw Qanza. Terus dan terus. Seluruh bagian penisku serasa diremas¬-remas dengan cepatnya oleh daging-daging hangat di dalam memiaw Qanza. Mata Qanza menjadi merem-melek dengan cepat dan indahnya. Begitu juga diriku, mataku pun merem-melek dan mendesis-desis karena merasa keenakan yang luar biasa.
“Sssh.. sssh.. Qanza.. enak sekali.. enak sekali memiawmu.. enak sekali memiawmu..”
“Ya Bang Reza, aku juga merasa enak sekali.. terusss.. terus Bang Reza, terusss..”
Aku meningkatkan lagi kecepatan keluar-masuk penisku pada memiawnya. Penisku terasa bagai diremas-remas dengan tidak karu-karuan.
“Bang Reza.. Bang Reza.. edan Bang Reza, edan.. sssh.. sssh.. Terus.. terus.. Saya hampir keluar nih Bang Reza.. sedikit lagi.. kita keluar sama-sama ya Reza..,” Qanza jadi mengoceh tanpa kendali.
Aku mengayuh terus. Aku belum merasa mau keluar. Namun aku harus membuatnya keluar duluan. Biar perempuan Sunda yang montok satu ini tahu bahwa lelaki Jawa itu perkasa. Biar dia mengakui kejantanan orang Jawa yang bernama Bang Reza. Sementara penisku merasakan daging-daging hangat di dalam memiaw Qanza bagaikam berdenyut dengan hebatnya.
“Bang Reza.. Bang Reza.. Bang Reza..,” rintih Qanza. Telapak tangannya memegang kedua lengan tanganku seolah mencari pegangan di batang pohon karena takut jatuh ke bawah.
Ibarat pembalap, aku mengayuh sepeda balapku dengan semakin cepatnya. Bedanya, dibandingkan dengan pembalap aku lebih beruntung. Di dalam “mengayuh sepeda” aku merasakan keenakan yang luar biasa di sekujur penisku. Sepedaku pun mempunyai daya tarik tersendiri karena mengeluarkan rintihan-rintihan keenakan yang tiada terkira.
“Bang Reza.. ah-ah-ah-ah-ah.. Enak Bang Reza, enak.. Ah-ah-ah-ah-ah.. Mau keluar Bang Reza.. mau keluar.. ah-ah-ah-ah-ah.. sekarang ke-ke-ke..”
Tiba-tiba kurasakan penisku dijepit oleh dinding memiaw Qanza dengan sangat kuatnya. Di dalam memiaw, penisku merasa disemprot oleh cairan yang keluar dari memiaw Qanza dengan cukup derasnya. Dan telapak tangan Qanza meremas lengan tanganku dengan sangat kuatnya. Mulut sensual Qanza pun berteriak tanpa kendali:
“..keluarrr..!”
Mata Qanza membeliak-beliak. Sekejap tubuh Qanza kurasakan mengejang. Aku pun menghentQanzan genjotanku. Penisku yang tegang luar biasa kubiarkan diam tertanam dalam memiaw Qanza. Penisku merasa hangat luar biasa karena terkena semprotan cairan memiaw Qanza. Kulihat mata Qanza kemudian memejam beberapa saat dalam menikmati puncak orgasmenya.
Setelah sekitar satu menit berlangsung, remasan tangannya pada lenganku perlahan-lahan mengendur. Kelopak matanya pun membuka, memandangi wajahku. Sementara jepitan dinding memiawnya pada penisku berangsur-angsur melemah. walaupun penisku Bangih tegang dan keras. Kedua kaki Qanza lalu kuletakkan kembali di atas kasur dengan posisi agak membuka. Aku kembali menindih tubuh telanjang Qanza dengan mempertahankan agar penisku yang tertanam di dalam memiawnya tidak tercabut.
“Bang Reza.. kamu luar biasa.. kamu membawaku ke langit ke tujuh,” kata Qanza dengan mimik wajah penuh kepuasan. “Bang Iyo dan pacar-pacarku yang dulu tidak pernah membuat aku ke puncak orgasme seperti ML. Sejak Dina tinggal di sini, Qanza suka membenarkan Bang Reza saat berhubungan dengan Bang Iyo.”
Aku senang mendengar pengakuan Qanza itu. berarti selama aku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku selalu membayangkan kemolekan tubuh Qanza dalam masturbasiku, sementara dia juga membayangkan kugeluti dalam onaninya. Bagiku. Dina bagus dijadikan istri dan ibu anak-anakku kelak, namun tidak dapat dipungkiri bahwa tubuh aduhai Qanza enak digeluti dan digenjot dengan penuh nafsu.
“Bang Reza… kamu seperti yang kubayangkan. Kamu jantan.. kamu perkasa.. dan kamu berhasil membawaku ke puncak orgasme. Luar biasa nikmatnya..”
Aku bangga mendengar ucapan Qanza. Dadaku serasa mengembang. Dan bagai anak kecil yang suka pujian, aku ingin menunjukkan bahwa aku lebih perkasa dari dugaannya. Perempuan Sunda ini harus kewalahan menghadapi genjotanku. Perempuan Sunda ini harus mengakui kejantanan dan keperkasaanku. Kebetulan aku saat ini baru setengah perjalanan pendakianku di saat Qanza sudah mencapai orgasmenya. Penisku masih tegang di dalam memiawnya. Penisku masih besar dan keras, yang harus menyemprotkan pelurunya agar kepalaku tidak pusing.
Aku kembali mendekap tubuh mulus Qanza, yang di bawah sinar lampu kuning kulit tubuhnya tampak sangat mulus dan licin. Penisku mulai bergerak keluar-masuk lagi di memiaw Qanza, namun masih dengan gerakan perlahan. Dinding memiaw Qanza secara berargsur-angsur terasa mulai meremas-remas penisku. Terasa hangat dan enak. Namun sekarang gerakan penisku lebih lancar dibandingkan dengan tadi. Pasti karena adanya cairan orgasme yang disemprotkan oleh memiaw Qanza beberapa saat yang lalu.
“Ahhh.. Bang Reza.. kau langsung memulainya lagi.. Sekarang giliranmu.. semprotkan air manimu ke dinding-dinding memiawku.. Sssh..,” Qanza mulai mendesis-desis lagi.
Bibirku mulai memagut bibir merekah Qanza yang amat sensual itu dan melumat-lumatnya dengan gemasnya. Sementara tangan kiriku ikut menyangga berat badanku, tangan kananku meremas-remas payudara montok Qanza serta memijit-mijit putingnya, sesuai dengan mama gerak maju-mundur penisku di memiawnya
“Sssh.. sssh.. sssh.. enak Bang Reza, enak.. Terus.. teruss.. terusss..,” desis bibir Qanza di saat berhasil melepaskannya dari serbuan bibirku. Desisan itu bagaikan mengipasi gelora api birahiku.
Sambil kembali melumat bibir Qanza dengan kuatnya, aku mempercepat genjotan penisku di memiawnya. Pengaruh adanya cairan di dalam memiaw Qanza, keluar-masuknya penis pun diiringi oleh suara, “srrt-srret srrrt-srrret srrt-srret..” Mulut Qanza di saat terbebas dari lumatan bibirku tidak henti-hentinya mengeluarkan rintih kenikmatan,
“Bang Reza.. ah.. Bang Reza.. ah.. Bang Reza.. hhb.. Bang Reza.. ahh..”
Penisku semakin tegang. Kulepaskan tangan kananku dari payudaranya. Kedua tanganku kini dari ketiak Qanza menyusup ke bawah dan memeluk punggung mulusnya. Tangan Qanza pun memeluk punggungku dan mengusap-usapnya. Aku pun memulai serangan dahsyatku. Keluar-masuknya penisku ke dalam memiaw Qanza sekarang berlangsung dengan cepat dan berirama. Setiap kali masuk, penis kuhunjamkan keras-keras agar menusuk memiaw Qanza sedalam-dalamnya. Dalam perjalanannya, batang penisku bagai diremas dan dihentakkan kuat-kuat oleh dinding memiaw Qanza. Sampai di langkah terdalam, mata Qanza membeliak sambil bibirnya mengeluarkan seruan tertahan,
“Ak..!” Sementara daging pangkal pahaku bagaikan menampar daging pangkal pahanya sampai berbunyi: plak! Di saat bergerak keluar memiaw, penis kujaga agar kepalanya yang mengenakan helm tetap tertanam di lobang memiaw. Remasan dinding memiaw pada batang penisku pada gerak keluar ini sedikit lebih lemah dibanding dengan gerak masuknya. Bibir memiaw yang mengulum batang penisku pun sedikit ikut tertarik keluar, seolah tidak rela bila sampai ditinggal keluar oleh batang penisku. Pada gerak keluar ini Bibir Qanza mendesah, “Hhh..”
Aku terus menggenjot memiaw Qanza dengan gerakan cepat dan menghentak-hentak. Remasan yang luar biasa kuat, hangat, dan enak sekali bekerja di penisku. Tangan Qanza meremas punggungku kuat-kuat di saat penisku kuhunjam masuk sejauh-jauhnya ke lobang memiawnya. beradunya daging pangkal paha menimbulkan suara: Plak! Plak! Plak! Plak! Pergeseran antara penisku dan memiaw Qanza menimbulkan bunyi srottt-srrrt.. srottt-srrrt.. srottt-srrrtt.. Kedua nada tersebut diperdahsyat oleh pekikan-pekikan kecil yang merdu yang keluar dari bibir Qanza:
“Ak! Uhh.. Ak! Hhh.. Ak! Hhh..”
Penisku terasa empot-empotan luar biasa. Rasa hangat, geli, dan enak yang tiada tara membuatku tidak kuasa menahan pekikan-pekikan kecil:
“Qanza.. Qanza.. gila..gilaa.. Enak sekali Qanza.. memiawmu enak sekali.. memiawmu hangat sekali.. gila.. jepitan memiawmu enak sekali..”
“Bang Reza.. Bang Reza.. terus Bang Reza..” rintih Qanza, “Enak Bang Reza.. enaaak.. Ak! Ak! Ak! Hhh.. Ak! Hhh.. Ak! Hhh..
Tiba-tiba rasa gatal menyelimuti segenap penjuru penisku. Gatal yang enak sekali. Aku pun mengocokkan penisku ke memiawnya dengan semakin cepat dan kerasnya. Setiap masuk ke dalam, penisku berusaha menusuk lebih dalam lagi dan lebih cepat lagi dibandingkan langkah masuk sebelumnya. Rasa gatal dan rasa enak yang luar biasa di penis pun semakin menghebat.
“Qanza.. aku.. aku..” Karena menahan rasa nikmat dan gatal yang luar biasa aku tidak mampu menyelesaikan ucapanku yang memang sudah terbata-bata itu.
“Bang Reza.. Bang Reza.. Bang Reza! Ak-ak-ak.. Aku mau keluar lagi.. Ak-ak-ak.. aku ke-ke-ke..”
Tiba-tiba penisku mengejang dan berdenyut dengan amat dahsyatnya. Aku tidak mampu lagi menahan rasa gatal yang sudah mencapai puncaknya. Namun pada saat itu juga tiba-tiba dinding memiaw Qanza mencekik kuat sekali. Dengan cekikan yang kuat dan enak sekali itu. aku tidak mampu lagi menahan jebolnya bendungan dalam alat kelaminku.
Pruttt! Pruttt! Pruttt! Kepala penisku terasa disemprot cairan memiaw Qanza, bersamaan dengan pekikan Qanza, “..keluarrrr..!” Tubuh Qanza mengejang dengan mata membeliak-beliak.
“Qanza..!” aku melenguh keras-keras sambil merengkuh tubuh Qanza sekuat-kuatnya, seolah aku sedang berusaha rnenemukkan tulang-tulang punggungnya dalam kegemasan. Wajahku kubenamkan kuat-kuat di lehernya yang jenjang. Cairan spermaku pun tak terbendung lagi.
Crottt! Crott! Croat! Spermaku bersemburan dengan derasnya, menyemprot dinding memiaw Qanza yang terdalam. Penisku yang terbenam semua di dalam kehangatan memiaw Qanza terasa berdenyut-denyut.
Beberapa saat lamanya aku dan Qanza terdiam dalam keadaan berpelukan erat sekali, sampai-sampai dari alat kemaluan, perut, hingga ke payudaranya seolah terpateri erat dengan tubuh depanku. Aku menghabiskan sisa-sisa sperma dalam penisku. Cret! Cret! Cret! Penisku menyemprotkan lagi air mani yang masih tersisa ke dalam memiaw Qanza. Kali ini semprotannya lebih lemah.
Perlahan-lahan tubuh Qanza dan tubuhku pun mengendur kembali. Aku kemudian menciumi leher mulus Qanza dengan lembutnya, sementara tangan Qanza mengusap-usap punggungku dan mengelus-elus rambut kepalaku. Aku merasa puas sekali berhasil bermain seks dengan Qanza. Pertama kali aku bermain seks, bidadari lawan mainku adalah perempuan Sunda yang bertubuh kenyal, montok, berkulit kuning langsat mulus, berpayudara besar dan padat, berpinggang ramping, dan berpinggul besar serta aduhai. Tidak rugi air maniku diperas habis-habisan pada pengalaman pertama ini oleh orang semolek Qanza.
“Bang Reza.. terima kasih Bang Reza. Puas sekali saya. Indah sekali.. sungguh.. enak sekali,” kata Qanza lirih.
Aku tidak memberi kata tanggapan. Sebagai jawaban, bibirnya yang indah itu kukecup mesra. Dalam keadaan tetap telanjang, kami berdekapan erat di atas tempat tidur ku. Dia meletakkan kepalanya di atas dadaku yang bidang, sedang tangannya melingkar ke badanku. Baru ketika jam dinding menunjukkan pukul 22:00, aku dan Qanza berpakaian kembali. Sebelum keluar kamar, aku mendekap erat tubuh Qanza dan melumat-lumat bibirnya beberapa saat.
“Bang Reza.. kapan-kapan kita mengulangi lagi ya Bang Reza.. Jangan khawatir, kita tanpa ikatan. Qanza akan selalu merahasiakan hal ini kepada siapapun, termasuk ke Bang Iyo dan Dina. Qanza puas sekali bercumbu dengan Bang Reza,” begitu kata Qanza.
Aku pun mengangguk tanda setuju. Siapa sih yang tidak mau diberi kenikmatan secara gratis dan tanpa ikatan? Akhirnya dia keluar dari kamar dan kembali ke rumahnya lewat pintu samping.